ADBM 11(08)

Tundun dan kawan-kawannya masih belum dapat mengerti dengan pasti maksud Tambak Wedi itu. Beberapa orang di antara mereka saling berpandangan dan bertanya-tanya di dalam hati.

Ki Tambak Wedi yang melihat kebingungan itu berusaha untuk menjelaskan. “Kisanak. Kalian menurut tangkapanku, adalah prajurit-prajurit yang baik. Prajurit-prajurit yang setia pada cita-cita. Bukan sekedar prajurit yang bertempur tanpa arah, selain untuk membunuh atau dibunuh. Karena itulah maka kalian tetap berada dalam lingkungan Macan Kepatihan. Tetapi aku ingin mengatakan, bahwa Macan Kepatihan dengan caranya sekarang tidak akan dapat memenangkan perjuangannya. Sedang tawaran kami untuk membantunya telah ditolaknya. Nah, kalau kalian memang setia kepada cita-cita kalian, menolak kekuasaan Pajang, maka kalian dapat mempertimbangkan antara Macan Kepatihan dan Sidanti. Macan Kepatihan yang telah kehilangan landasan perjuangannya dan Sidanti yang baru muIai dengan tekad yang masih segar. KeIebihan Sidanti yang lain adalah, Sidanti berkuasa di lereng Gunung Merapi. Suatu daerah yang cukup luas untuk membangun kekuatan dam benteng pertahanan. Dan ia berkuasa pula di suatu daerah yang luas di sebelah Alas Mentaok, Bukit Menoreh.”

Tundun dan kawan-kawannya kini baru menjadi jelas maksud Ki Tambak Wedi itu. Ternyata Ki Tambak Wedi telah menawarkan pilihan kepada para prajurit itu. Dan tawaran itu tenyata telah mempengaruhi perasaan mereka. Namun Tundun, seorang prajurit yang sudah lama menjadi bawahan Tohpati, sejak terjadi parselisihan antara Jipang dan Pajang, tidak akan segera dapat melepaskan ikatan itu. Karena itu maka jawabnya, “Ki Tambak Wedi. Tawaranmu bagus sekali. Tetapi jangan mencoba mempengaruhi kesetiaan kami kepada pimpinan kami. Kalau kau ingin menyatukan dirimu ke dalam lingkungan kami, maka mengharap, mudah-mudahan pimpinan kami dapat menerimanya. Tetapi kalau kau mencoba mempengaruhi kesetiaan kami itu, jangan mengharap.”

Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia tertawa. “Aku tahu, bahwa jawaban kalian akan berbunyi demikian. Memang aku mengharap kalian menjawab seperti yang diucapkan oleh pimpinan kalian ini. Kalau tidak demikian, maka kalian sama sekali tidak berharga. Bagi kamipun tidak. Tetapi karena kesetiaan itulah maka kalian baru dapat disebut seorang prajurit jang baik. Jawaban itu kalian ucapkan sebab kalian belum mempunyai kesempatan untuk berpikir. Kalau kalian belum sempat berpikir, tatapi segera mempercayai kata-kata orang lain, maka kalian adalah sampah jang tidak berarti. Tetapi kamipun tidak ingin mendengar jawaban kalian sekarang ini. Seperti aku katakan, jawaban yang akan aku dengar sudah aku ketahui. Namun aku mengharap kalian sempat memikirkan tawaran itu. Aku hanya ingin kalian memikirkan dan mempertimbangkan. Lain tidak.”

Tundun terdiam untuk sesaat. Ia menjadi heran kembali mendengar jawaban Tambak Wedi. Tetapi dengan demikian ia terpaksa untuk mencari sebab-ebabnya.

Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Tambak Wedi itu kembali. “Meskipun seandainya, kami tidak dapat bertemu dalam pembicaraan, karena kesetiaan kalian terhadap pimpinan kalian, namun biarlah hubungan persaudaraan ini kita langsungkan. Kami akan selalu menunggu kalian di tempat kediaman kami. Dan dalam keadaan yang memuncak, muridku akan dapat membangun kekuasaan tandingan dari Pajang itu di daerah asalnya: di sebelah Barat Alas Mentaok. Daerah itu akan dapat dibukanya menjadi daerah yang akan dapat mangimbangi kekuasaan Pajang. Setidak-tidaknya di daerah Barat, dan Selatan.”

Tundun dan kawan-kawannya seolah-olah menjadi beku mendengar keterangan itu. Ki Tambak Wedi yang mempunyai pengamatan yang tajam, melihat bahwa kata-katanya bergolak di dalam hati para  prajurit Jipang itu. Maka katanya selanjutnya, “Nah. Bandingkan dengan hari depan Tohpati. Sidanti mempunyai kekuasaan atas suatu daerah. Meskipun daerah itu kini seakan-akan masih asing bagi kalian. Daerah yanq masih jarang-jarang diketemukan pedukuhan dan padesan. Tetapi di daerah itu dapat dibangun kekuasaan yang besar. Apalagi dengan bantuan prajurit-prajurit yang berpengalaman.”

Terasa sesuatu menyentuh hati para prajurit itu. Seakan-akan di hadapan mereka ditunjukkan oleh Ki Tambak Wedi, betapa suram hari depan mereka. Betapa suram hari depan Macan Kepatihan. Tetapi dengan suatu perubahan di dalam hidup mereka, maka hari depan merekapun akan dapat berubah pula.

Tiba-tiba merayap di dalam hati para prajurit itu pertanyaan, “Kenapa Tohpati menolak uluran tangan Ki Tambak Wedi?”

Tetapi pertanyaan itu disimpannya di dalam hati. Mereka kini seakan-akan telah menjadi patung yang hanya boleh mendengarkan Ki Tambak Wedi berbicara.  Katanya meneruskan, “Selanjutnya terserah kepada kalian. Tetapi aku telah memberikan perbandingan-perbandingan.”

Suasana di perkemahan itu kemudian menjadi sepi. Beberapa oranq berdiri tegak dengan senjata di tangan. Namun ujung-ujung senjata itu sudah terkulai di tanah. Mereka berdiri saja seperti patung mengerumuni dalam jarak yang tidak jauh, seorang tua namanya ditakuti karena kesaktiannya bersama seoreng muridnya yang garang.

Dalam suasana yang sepi itulah maka kata-kata Tambak Wedi seakan-akan meresap semakin dalam di hati para prajurit Jipang yang memang sudah terlalu lama mengalami kepahitan hidup di hutan-hutan dan pengembaraan sebagai orang-orang liar. Apabila mereka menemukan tempat yang baik, maka keadaan mereka pasti akan lebih baik. Seandainya mereka masih haruss berjuang untuk menghancurkan Pajang, maka landasan mereka akan Iebih kokoh.

Sejenak Ki Tambak Wedi pun berdiam diri pula. Dibiarkannya para prajurit Jipang itu mencernakan kata-katanya. Ia mengharap seandainya tidak sekarang, namun orang-orang itu pasti akan memperbincangkan kata-katanya denqan beberana orang kawan-kawannya. Semakin lama akan menjalar semakin luas di antara orang-orang Macan Kepatihan.

Tetapi kesepian itu kemudian dipecahkan oleh kehadiran seorang tua, juru masak Macan Kepatihan yang malas, Sumangkar; yang dengan terbata-bata berkata. “Tundun; Tunduu; rusa itu sudah masak. Apakah kau tidak mencium baunya? Aku bumbui rusa panggang itu dengan tanganku sendiri.”

Dalam suasana yang sepi tegang, kehadiran Sumangkar benar-benar mengejutkan. Apalagi sebelum ia sendiri hadir di tengah-tengah kesepian itu, suaranya telah lebih dahulu melengking di antara mereka. Sehingga ketika Sumangkar berlari-lari, maka beberapa orang telah berloncatan menyibak tanpa mereka kehendaki sendiri.

Tundun pun terperanjat pula. Ia melihat Sumangkar berIari-lari ke arahnja dan kemudian berdiri di hadapannja sambil terengah-engah.

“Gila!” teriak Tundun yang masih berdebar-debar karena terkejut.

 “Rusa itu sudah masak Tundun,” ulang Sumangkar.

“Gila. Aku sangka apa saja yang kau teriakkan itu. Apakah kau tidak melihat apa jang sedang terjadi di sini?”

Sumangkar terdiam sesaat. Dipandangnya beberapa orang yang berdiri di sekitarnya. Dan kemudian dipandanginya kedua orang yang berdiri di antara mereka. Guru dan murid.

Tetapi sebelum Sumangkar berkata-kata sepatah katapun, maka kembali terdengar Tundun membentak. “He orang tua yang bodoh. Coba lihat tangan-tangan kami masih menggenggam senjata. Dan keringat kami masih belum kering. Ayo, pergi. Atau kepalamu kami pangkas dengan pedang kami.”

“Jangan Tundun,” sahut Sumangkar. “Aku datang sekedar memberitahukan, bahwa apa yang harus kukerjakan sudah selesai. Rusa panggang. Dahulu Adipati Arya Penangsang gemar sekali akan rusa panggang  pula. Dahulu ketika Adipati Jipang itu masih berkuasa di Jipang.”

“Tutup mulutmu!” bentak Tundun.

Tetapi Sumangkar berbicara terus, seakan-akan ia tidak mendengar Tundun membentak-bentak dan tidak melihat kehadiran orang-orang di sekitarnya, orang-orang Jipang sendiri dan kedua orang asing itu. Katanja, “Tetapi sayang Adipati Jipang itu sudah tidak ada lagi. Dahulu Adipati Jipang tidak pernah melupakan rusa panggang dalam setiap perburuan. Pamanda Kepatihan, Mantahun pun senang sekali akan rusa panggang pula. Sayang, giginja telah hampir habis karena usianya, sehingga Patih Mantahun tidak dapat ikut menikmatinja.”

“He, orang gila,” potong Tundun berteriak keras sekali, “pergi dari sini sebelum aku bunuh kau.”

“Ternyata sekarang Macan Kepatihan, kemanakan Mantahun itu, gemar pula akan rusa panggang. Tetapi kasian Macan Kepatihan itu. Ia kini hidup seperti sehelai kapuk diterbangkan angin. Tidak mempunyai tempat landasan bagi perjuanganya. Dahulu Arya Jipang mempunjai landasan yang kuat. Satu Kadipaten Jipanq memihaknja, lengkap dengan seluruh pasukan Wira Tamtama dari Kadipaten itu. Jipanq adalah Kadipaten yang lengkap. Bukan sekedar padukuhan atau padesan yang masih harus dibangun, meskipun dibantu oleh prajurit-prajurit yang berpengalaman. Tetapi Jipang sudah besar sejak permulaan mengangkat senjata. Prajuritnja sudah lengkap di bawah pimpinan Patih Mantahun di samping Arya Penangsang sendiri. Dan kemudian dibantu oleh Raden Tohpati. Bukan suatu daerah asing di seberemg hutan belantara. Namun Jipang yang kuat itu dapat dipecahkan oleh kekuatan Pajang di bawah pimpinan Adipati Adiwijaja, yang bermama Mas Karebet semasa ia masih menjadi seorang anak gembala. Apalagi daerah-daerah terpencil, padukuhan dan padesan yang ringkih dan sepi.”

“Cukup!” tiba-tiba hutan itu tergetar  oleh suara Tambak Wedi yang marah bukan buatan. Ia tahu benar maksud kata-kata Sumangkar itu. Demikian marahnya, sehingga hantu dari lereng Gunung Merapi itu berteriak sekuat-kuatnya.

Semua orang yang berdiri memutarinya terkejut. Hampir saja mereka berloncatan menjauh. Tundun pun terkejut pula mendengar teriakan itu.

Bukan saja terkejut karena Tambak Wedi berteriak. Tetapi segera Tundun pun menjadi cemas melihat Tambak Wedi itu terbakar oleh kamarahan. Wajahnya merah dan sepasang matanya seolah-olah menyala seperti bara.

Kalau Tambak Wedi ini menjadi marah, dalam suasana yang telah menjadi tenang ini, dan membunuh kami sekalian, maka kami tidak akan dapat malawannya,” pikir Tundun. Karena itu maka segera ia menimpakan kesalahan itu kepada Sumangkar. Untuk mengurangi kemarahan Tambak Wedi, maka Tundun itupun berteriak pula. “He Sumangkar yang gila. Bukan orang Iain yang akan membunuhmu karena mulutmu yang lancang itu. Tetapi aku sendiri. Dengan pedangku dan tanganku, maka kepalamu akan aku pancung di muka kawan-kawanmu ini.”

Tetapi Sumangkar itu seolah-olah tidak mendengar suara Tundun dan Tambak Wedi. Dan Tundun itupun kemudian terkejut bukan buatan. Ketika ia melangkah setapak maju untuk menyingkirkan Sumangkar yang telah membangkitkan kemarahan Tambak Wedi yang menakutkan itu, tiba-tiba dihatnya Sumangkar memutar tubuhnja, membelakanginya dan menghadap Ki Tambak Wedi. Bahkan kemudian dilihatnja Sumangkar itu tersenjum sambil berkata, “Jangan marah Kakang Tambak Wedi. Jangan marah supaya kau tidak menjadi lekas tua.”

“Sumangkar,” teriak Tambak Wedi, “kehadiranmu di sini benar-benar mengejutkan aku. Kenapa kau tidak ikut pergi ke medan pertempuran Setan tua?”

Sumangkar menggeleng. “Tidak Kakang. Aku adalah seorang juru masak.”

“Tetapi kau kali ini benar-benar ingin merusak semua rencana yang sudah aku susun bersama muridku ini.”

Sumangkar tertawa. Sekali ia berpaling, dan dilihatnja Tundun berdiri ternganga di belakangnya. Alangkah pningnya kepala pemimpin prajurit pengawal perkemahan ini. Tiba-tiba saja ia melihat seolah-olah Sumangkar, juru masak yang malas itu telah mengenal dan dikenal olah Ki Tambak Wedi.

“Jangan heran Tundun,” berkata Sumangkar, “aku kini berjumpa dengan kawan bermain di waktu muda. Tatapi saying bahwa ia kini menjadi seorang guru yang ternama, dan aku menjadi seorang juru masak yang malas. Yang sehari ini selalu kau bentak-bentak saja.”

Namun kata-kata itu terputus oleh teriakan Ki Tambak Wedi. “Jangan mengigau. Apakah kehendakmu sebenanya?”

Mendengar teriakan Tambak Wedi itu, sekali lagi Sumangkar tersenyum. Dan sekali lagi ia berkata, “Jangan marah Kakang Tambak Wedi.”

“Persetan!” teriak Tambak Wadi. “Lihat, kalau kau masih saja berdiri di situ, aku bunuh kau dan prajurit-prajurit Jipang seluruhnya.”

Ancaman itu telah menyadarkan Tundun dari keheranannya. Kini kembali ia dicengkam oleh ketakutan. Dan sekali lagi Tunduu menimpakan kesalahan itu kepada Sumangkar, katanja, “He; juru masak yang malas. Untuk membebaskan kami dari kemarahan Ki Tambak Wedi, maka aku terpaksa membunuhmu.”

Kali ini Sumangkar terpaksa berpaling dan menjawab, “Jiangan Tundun. Jangan mengorbankan kawan sendiri untuk memuaskan orang Iain karena kau melihat kepentinganmu sendiri. Karena kau ingin kau dihidupi. Tentu aku tidak mau menjadi korban. Kalau kita menjadi korban bersama-sama, marilah, biarlah aku mati paling awal dari kalian. Tetapi kalau aku sendiri harus mati karena kalian ketakutan akan mati itu, nanti dulu.”

Tundun menggeram mendengar kata-kata itu. Terbersit di hatinya kebenaran kata-kata Sumangkar. Tetapi ketakutannya kepada Ki Tambak Wedi telah mengatasi segalanya, maka katanya, “Jangan banyak bicara. Kau tidak berarti di sini.”

“Kalau kau bunuh aku Tundun, Macan Kepatihan pasti akan marah. Aku adalah juru masak yang dibawanya sejak dari istana kepatihan. Tentu. Tentu kau belum mengenal aku, sebab saat-saat itu kau adalah seorang Wira Tamtama yang tidak bertugas di istana Kadipaten maupun di istana Kepatihan. Hanya orang-orang tua dan mereka yang bertugas di istana dan istana Kepatihan sajalah yang menganal Sumangkar. Di antaranya adalah Sanakeling. Dan Ki Tambak Wedi. Bukankah begitu Kakang?”

“Tutup mulutmu, Sumangkar! Lihat, kawanmu sudah siap akan membunuhmu,” sahut Ki Tambak Wedi, yang kemudian berkata kepada Tundun, “Kalau kau bunuh tikus tua itu, aku maafkan kalian.

Tundun yang lebih sayang kepada jiwanya sendiri menggeram. Selangkah ia maju dan pedangnya telah siap menusuk punggung Sumangkar. Tetapi ia mendengar Sumangkar berkata, “Cara yang baik untuk mengadu sesama kawan. Kini tinggallah kita sendiri, Tundun. Apakah kita ini sebangsa domba-domba yang siap untuk diadu, ataukah kita ini sebangsa prajurit yang setia kepada tugas dan pimpinan kami. Pilihlah olehmu Tundun.”

6 Responses to “ADBM 11(08)”

  1. adbm2 Says:

    ADBMers, posting ini berkat kerja sama yang baik dari kita. ADBMers yang ketiban sampur editing/proof kali ini adalah:
    GI
    Aulianda
    Lurah Baseman
    Seno Yudho
    Doyok
    Silakan cek email anda karena deadlinenya mefet (Sory, koordinasi masih semrawut, sementara dikejar tayang. Ceilah). Buat teman2 lain yang belum dapat bagian, tunggu aja ya. Lagi diatur neh.

    TETAP SEMANGAT (DHE2)

  2. bensroben Says:

    perlu dipikirkan koordinasinya…
    sebisa mungkin ndak terjadi retype ganda..
    mungin bisa dibagi.. dijatah beberapa halaman untuk satu minggu..

    tetap semangat juga..

    DHE2: BERES BENS

  3. Aulianda Says:

    Siap Laksanakan,…

    DHE2: FILE UDAH DI SEND ULANG DI EMAIL ANDA YANG BARU

  4. ADBM Melben Says:

    Aku bisa bantu juga…….
    email pisscak@gmail.com

    DHE2: OK. TUNGGU AJA

  5. papar-persikmania Says:

    makasih ya temen-temen

  6. djoko Says:

    Saya bilang juga apa bahwa tanda $$ adalah ciri khusus dari Nyi Senopati, walaupun cantrik mengatakan menomentari komentarnya sendiri kan seharusnya tidak menggunakan ciri $$ tapi bisa menggunakan ciri lain, misalnya ##, atau @#@#, atau @@ masih banyak lagi, Dan sekarang Comment closed, berikut kitab tidak diwedar hari ini, rasakno !!!

Leave a comment